Minggu, 27 Februari 2011

Paradoks Kembar

Bayangkan anda adalah dua saudara kembar (misalkan Budi dan Badu) yang hidup di masa depan, dimana laju sebuah pesawat ruang angkasa sudah mendekati laju cahaya. Sebagaimana diketahui laju cahaya dalam ruang hampa udara adalah 300.000 km/detik atau sering dilambangkan dengan c (bandingkan dengan laju sebuah pesawat Concorde buatan Prancis yang sudah pensiun, masih sangat jauh khan !!). Pada saat keduanya berumur 20 tahun, Budi meninggalkan saudara kembarnya tersebut untuk pergi ke sebuah bintang yang jaraknya 20 tahun cahaya dengan sebuah pesawat luar angkasa (20 tahun cahaya adalah jarak yang ditempuh cahaya selama 20 tahun). Sebagai perbandingan, cahaya dari matahari akan sampai di bumi setelah menempuh waktu sekitar 8,3 menit. Pesawat luar angkasa yang digunakan oleh Budi bergerak dengan laju 0,8c (sekitar 240 km/detik). Sebuah perjalanan yang melelahkan dan sangat jauh tentunya. Setelah sampai di bintang yang dituju, Budi kembali ke bumi. Alangkah terkejutnya dia ketika mendapati Badu yang tinggal di bumi telah berusia 70 tahun sedangkan dirinya baru berusia 50 tahun (alias Badu lebih tua 20 tahun darinya).

Hal di atas kelihatannya mustahil, terlebih untuk masa sekarang ini. Tapi itulah implikasi dari sebuah teori fisika yang bernama teori relativitas khusus (special relativity), sebuah teori yang dikemukakan oleh sesepuh fisika modern di awal abad 20 yakni Albert Einstein. Teori ini menegaskan bahwa tidak ada satu percobaan yang dapat kita gunakan untuk mengukur kecepatan terhadap ruang mutlak (tidak adanya kerangka referensi universal) dan bahwa laju cahaya adalah sama bagi semua pengamat, sekalipun mereka dalam keadaan gerak relatif. Teori relativitas khusus sebenarnya adalah semata-mata suatu sistem kinematika dan dinamika lain, yang didasarkan pada sekumpulan postulat yang memang berbeda dari fisika klasik. Rumusan yang dihasilkannya tidaklah lebih rumit daripada hukum-hukum Newton (baca : fisika klasik), namun memang memberi ramalan-ramalan yang bertentangan dengan akal sehat kita. Teori relativitas khusus telah diuji kebenarannya secara teliti dan seksama lewat berbagai percobaan dan didapati bahwa semua ramalannya benar. Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh postulat Einstein diantaranya adalah efek pemuluran waktu (time dilation), kontraksi panjang (length contraction) dan paradoks kembar (twin paradox).

Pembahasan mengenai paradoks kembar menyangkut dua jam identik, satu diam di bumi sedangkan jam yang lain diletakkan pada sebuah pesawat ruang angkasa yang terbang dengan kecepatan u. Biasanya dalam permasalahan paradoks kembar ini kedua jam diganti dengan sepasang kembar ( katakanlah Budi dan Badu di atas). Pergantian dengan sepasang kembar ini bisa diterima dengan baik sebab proses kehidupan (detak jantung, pernafasan dan yang lainnya) merupakan jam biologi dari sifat keteraturan yang layak. Sekarang bagaimana perhitungan dan analisisnya sehingga waktu sampai kembali di bumi Budi lebih muda 20 tahun dari saudaranya? Terhadap Badu yang tinggal di bumi, langkah kehidupan Budi akan lebih lambat dengan sebuah faktor √1-u2/c2 =√1- (0,8c)2/c2 = 0,6 = 60%. (hasil ini didapat dari efek pemuluran waktu akibat laju pesawat yang ditumpangi Budi). Terhadap Badu, detak jantung Budi hanya tiga kali untuk setiap lima kali detak jantungnya. Budi hanya bernafas tiga kali untuk setiap lima kali nafasnya Badu (mulai bingung khan ..??).

Dimanakah paradoksnya? Jika kita memikirkan situasi dari sudut pandang Budi, Badu di bumi bergerak relatif terhadapnya dengan kecepatan 0,8c. Jika demikian, apakah tidak Badu yang berumur 50 tahun ketika pesawat ruang angkasa yang ditumpangi Budi kembali ke bumi sedangkan umur Budi telah 70 tahun? (berlawanan dengan kasus di atas). Kedua situasi ini tidaklah sama. Budi telah berubah dari sebuah kerangka referensi (pada saat dia pergi) ke kerangka referensi lainnya (saat kembali ke bumi). Sedangkan Badu tetap berada pada kerangka referensi yang sama pada saat Budi melakukan perjalanan dan kembali lagi ke bumi. Menurut Badu, saudaranya membutuhkan waktu 25 tahun (25 tahun * 0,8c = 20 tahun cahaya) untuk mencapai bintang itu dan 25 tahun lagi untuk tiba kembali ke bumi, dan oleh karena itu saudaranya bepergian untuk waktu total 50 tahun. Dari perspektif Budi, jarak bumi-bintang tersebut memendek dengan faktor sebesar L’ = L√1-u2/c2 = 20 th cahaya * √1- (0,8c)2/c2 = 12 th cahaya (ini didapat dari perumusan kontraksi panjang / kontraksi Lorentz-Fitgerald) . Pada laju 0,8c ini, Budi akan mengukur lama waktu 15 tahun (12 tahun c/0,8c) bagi perjalanannya menuju bintang tujuannya, sehingga dengan demikian ia membutuhkan waktu total 30 tahun bagi perjalanan pulang perginya. Kita dapat mempertegas analisis ini dengan meminta Badu setiap tahun mengirimkan suatu sinyal cahaya pada saat ia berulang tahun kepada saudara kembarnya. Sinyal dari Badu ini akan mengalami pergeseran Doppler (apalagi nih ??). Selama perjalanan pergi, Budi akan menerima laju sinyal 0,3/tahun (5 sinyal/15 tahun) sedangkan dalam perjalanan pulang ke bumi laju sinyal yang diterima adalah 3/tahun (45 sinyal/15 tahun), sehingga total sinyal yang diterima budi adalah 45 + 5 = 50 kali.

Perhitungan dan analisisnya masuk akal khan? Kelak kalau kita sudah mempunyai sebuah wahana yang bisa membawa kita melanglang buana ke luar angkasa yang lajunya mendekati kecepatan cahaya barulah mungkin efek-efek relativistik seperti itu bisa dirasakan dalam skala makro.


Relativitas waktu menurut Qur’an

Sayangnya teori relativitas waktu ini ditemukan oleh orang non-muslim, padahal hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an sangat lama sebelum teori ini ditemukan. Dalam Al-Qur’an seringkali diungkapkan perbedaan waktu antara akhirat dan dunia, juga didalam cerita Ashabul Kahfi dan Mi’raj nya Rasulullah.

Diantaranya ayat-ayat yang menjelaskan hal ini :

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian urusan itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya (lamanya) adalah seribu tahun menurut perhitunganmu” (As-Sajdah :5)

“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap kepada Tuhan) dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun” (Al-Ma’aarij :4)

bahkan jika kita lihat kisah Ashabul Kahfi bisa jadi memang ada keadaan-keadaan tertentu yang bisa mengakibatkan kita mengalami hukum-hukum yang berbeda terhadap ruang dan waktu. Jadi bukan hanya efek psikologis saja, seperti yang sering diceritakan orang “menghabiskan waktu bersama kekasih sehari bagaikan sejam”.

Dan bukankah konsep waktu itu kita sendiri yang menciptakan, kita sendiri membagi perjalanan bumi mengelilingi matahari menjadi bilangan tahun, yang dibagi lagi jadi bilangan bulan, dibagi lagi jadi bilangan minggu, dibagi lagi menjadi bilangan hari. Lalu sehari terdiri dari 24 jam, yang dibagi menjadi bilangan menit. Lalu dibagi lagi menjadi bilangan detik.

Sabtu, 26 Februari 2011

IPELINE ENGINEERING an Introduction

Oleh: Fourman Marpaung


Pendahuluan

Pipeline Engineering atau bisa di indonesiasikan dengan Teknik Perpipaan merupakan bidang keahlian baru yang sebenarnya sudah lama. Pada jaman pertengahan abad ini, pemilihan pipa sebagai satu alternatif pendistribusian minyak & gas merupakan suatu keputusan yang tidak populer dilakukan. Hal ini dapat dimengerti, karena, ketika itu, pengangkutan minyak/gas bumi dengan menggunakan mobil tangki ataupun kapal tanker lebih mudah dan murah untuk dilakukan. Mudah karena company cukup menyewa mobil tangki ataupun kapal tanker, murah karena menyewa lebih murah dibandingkan dengan membangun sebuah pipeline yang harganya tentu sangat mahal (engineering, procurement, and construction cost). Oleh karena itu, ilmu teknik perpipaan tidaklah mempunyai sejarah yang cukup panjang apabila dibandingkan dengan teknik mesin misalnya. Teknik perpipaan berkembang seiring dengan meningkatnya permintaan pembuatan jaringan pipa sebagai alternatif pendistrbusian minyak dan gas bumi.

Lambat laun pipeline merupakan suatu alternatif yang menarik. Isu keselamatan, keamanan dan lingkungan hidup ikut memacu berkembangnya industri perpipaan.Tidak seperti sistem transportasi yang lain yang lebih kasat mata, pipeline beroperasi dengan diam dan tak disadari kehadirannya oleh masyarakat. Seperti sistem sikulasi tubuh, pipeline tidak terlihat tetapi merupakan jaringan distribusi yang vital dan merupakan salah satu faktor penting dalam revolusi teknologi minyak dan gas bumi. Apabila minyak dan gas merupakan “darah” industri, maka pipeline akan menjadi “urat nadi” dan penghubung yang penting antara penyedia dan pengguna energi. Ketika sistem pendistribusian lain “memindahkan” minyak & gas bumi dalam proses pendistribusiannya dengan menggunakan kapal tanker ataupun truk tangki, pipeline adalah sebuah struktur yang memanfaatkan tekanan dan kompresi untuk mentransportasikan minyak & gas. Sehingga, tidaklah heran apabila tingkat keamanan pipeline ini sangat tinggi dibandingkan penggunaan sistem transportasi lainnya.

Akibat kemajuan teknologi yang begitu pesat, pembangunan pipeline tidak lagi merupakan sebuah pemborosan. Untuk design lifetime yang panjang, memiliki sebuah pipeline tentu sebuah investasi yang menguntungkan dibandingkan dengan menyewa kapal tanker. Tetapi tentu kita tidak bisa mengharapkan untuk membangun pipa dari LNG Tangguh ke Fujian China untuk menjual gas bumi, perlu dilakukan kelayakan pembangunan pipa yang didalamnya terkait dengan disiplin-disiplin ilmu lain yang dapat berkonstribusi secara positif.

Apa saja tentang pipeline engineering?

Secara simple dan sedikit berguyon, orang sering mengatakan pekerjaan pipeline engineer itu sangatlah mudah: kepanjangan ya dipotong, kependekkan ya di sambung. Tetapi “peribahasa” diatas tidaklah terlalu salah.

Pipeline engineering secara letak terbagi menjadi 2 bagian besar, offshore dan onshore pipeline. Setiap bagian memiliki keunikan sendiri-sendiri. Onshore pipeline mungkin sudah lebih dahulu berkembang. Pemasangan pipa air PDAM, dan atau pemasangan kabel listrik tentu sedikit banyak mirip dengan pemasangan pipa minyak & gas. Selain itu, lokasi sumur produksi yang lebih dahulu di temukan di daratan juga ikut memacu berkembangnya onshore pipeline. Pembangunan jalan raya yang notobene memiliki keserupaan alat-alat berat juga memberikan ide tentang bagaimana menginstalasikan sebuah pipa.

Lain halnya dengan offshore pipeline, pembangunan pipa di bawah laut sangat tergantung dari kondisi lingkungan laut yang serba tidak pasti. Arus dan gelombang air laut merupakan faktor utama desain. Ditambah dengan bentuk permukaan dasar laut yang kerap berubah karena air laut juga sangat krusial. Masih ingat masalah pipa pagerungan-nya BP/Pertamina? Konon katanya masalah ini terjadi karena perubahan bentuk permukaan dasar laut sehingga membahayakan keutuhan pipa. Metocean data yang akurat, sifat2 tanah, pengetahuan sifat gelombang air laut, merupakan kunci penting dalam mendesain sebuah pipa di laut lepas. Dalam proses desain tersebut, juga perlu diperhatikan metode penginstalasian yang dipilih. Ketersediaan barge di area, kemampuan teknologi, dan ketersediaan dana yang merupakan masalah klise karena semua teknologi untuk meng-instalasikan pipa di laut lepas sangatlah mahal.

Pendidikan pipeline engineering

Teknik perpipaan di industri minyak dan gas sendiri sepertinya tidak begitu diketahui oleh para praktisinya. Cukup banyak engineer yang bertanya perbedaan antara pipeline dan piping, mechanical dan pipeline, ataupun tubing dengan pipeline. Hal ini berkembang karena kemiripan nama dan daerah “operasi” antara bidang keahlian diatas. Juga sistem pendidikan kita di perguruan tinggi yang turut berkontribusi ketidak jelasan antara bidang keahlian tersebut. Kalau bidang keahlian mekanikal ada jurusan teknik mesin, sipil ada teknik sipil, proses ada teknik kimia, material ada teknik material, reservoir ada teknik perminyakan. Maka tidak mudah untuk mengetahui latar belakang pendidikan apa yang cocok untuk menjadi seorang pipeline engineer.

Menurut seorang panelis pada seminar “Material Science in Oil & Gas Industry” yang diselenggarakan oleh Teknik Material ITB di Bandung 2001, pipeline engineering adalah sebuah persilangan antara mechanical dan civil engineering. Penulis juga dapat sepenuhnya setuju dengan pendapat seperti ini. Hal ini dapat diindikasikan dengan melihat kurikulum pendidikan pipeline engineering di UK dan USA. Pada kebanyakan universitas di Inggris (UCL London, Newcastle University, & Cranfield University), pipeline engineering adalah sebuah pilihan yang berada pada departemen teknik mesin. Tetapi yang terjadi di Amerika (Texas ATM, California University, MIT) adalah kebalikannya, pilihan pipeline engineering ini lebih banyak berada di bawah Depatemen Teknik Sipil. Tetapi kalau kita melihat silabus mata kuliah pada kedua universitas -yang berbeda negeri itu- dapatlah dikatakan sama. Hal ini mencerminkan bahwa belum ada kesamaan pandangan tentang pipeline engineering tersebut walaupun yang dipelajarinya sudah jelas atau sama.

Sementara yang terjadi di Indonesia juga belumlah secara explisit diketahui. Yang penulis tahu pada Jurusan Teknik Mesin ITB ada sebuah mata kuliah pilihan yang mempelajari ASME B318. Tetapi hanya khusus mempelajari standard tersebut saja. Yang menjadi perhatian penulis adalah sangatlah rancu adanya apabila kita sebagai sebuah negara “archipelago” yang memiliki banyak anjungan lepas pantai tetapi tidak mempunyai sumber daya untuk dapat menjadi pemimpin dalam industri pipeline. Yang selama ini terjadi adalah kita meng-import para expert untuk menjadi konsultan paling mahal dalam sebuah proyek. Sehingga wacana untuk menghadirkan sebuah pendidikan yang spesifik mengenai pipeline engineering dapatlah menjadi sebuah wacana yang menarik untuk menjadikan bangsa Indonesia sebagai tuan rumah di negeri sendiri.